Another
Story of Twilight
Oleh : Wilhelmina Mitan
Perempuan itu terus berjalan
menyusuri pantai. Sore itu. Aku menguntitnya sambil memperhatikan langkahnya
yang gontai. Menginjak kembali bekas kakinya di hamparan pasir. Seringkali ia
berhenti sekedar mematung disuatu tempat sambil memandang lurus hamparan laut
di depannya. Wajahnya datar tak berekspresi. Sesekali tangannya bergerak,
merapikan helaian rambutnya yang berterbangan berantakan karena kejahilan angin
pantai.
Aku melihat ke ufuk barat, matahari sebentar lagi kembali
ke peraduannya. Senja segera tiba. Mungkin wanita itu sedang menunggu senja.
Batinku, menjawab sendiri rasa penasaran yang menghimpitku tentang perempuan
itu. Aku menatap kesekeliling pantai. Senja kali ini sepi. Tak ramai seperti
biasanya.
****
Aku memang sering datang kesini, tepat lima belas menit
sebelum pukul lima. Aku sengaja menunggu senja. Menyaksikan puing-puing
matahari berwarna merah jambu adalah kewajibanku setiap sore tiba. Pada musim
apapun aku akan terus berada disini. Mengantar matahari. Dan menyambut senja.
Lalu mengucapkan selamat datang kepada malam.
Lalu perempuan itu. Aku baru melihatnya tujuh hari
terakhir ini. Ia selalu datang tepat pukul lima. Mengenakan baju yang sama,
kemeja orange, dengan sebuah syal putih yang setia menggantung di lehernya. Petualangan
senjanya selalu diawali dengan langkah gontai menelusuri pantai, menatap laut,
lalu berakhir di gubuk kecil pinggir pantai ini. Sore ini aku sengaja
menunggunya. Aku ingin ngobrol dengannya. Mungkin
ia butuh teman ngobrol.
****
Senja sore ini perlahan mulai memudar. Langit merah jambu
perlahan menjadi kehitaman. Hari sudah gelap. Perempuan itu sedang duduk di
gubuk itu. Menatap laut. Sendirian. Aku melangkah mendekat. Duduk disampingnya.
Ia tetap diam. Ekspresinya tetap datar. Tanpa senyum.
“Sudah malam ya…?” aku
memulai obrolan. Perempuan itu hanya menoleh kearahku tanpa menjawab.
“Senja sudah pergi. Aku sangat menyukai senja.
Karena itu aku sering kesini ketika sore tiba. Senja telah mengajarkanku banyak
hal tentang arti menunggu yang sesungguhnya.”
“Menunggu…???”
kalimatku telah memancing suaranya. Mungkin saja hanya kata menunggu yang
menarik baginya.
“Aku benci kata menunggu. Aku tidak tertarik dengan
senja.”
Lanjut perempuan itu seakan mengetahui jalan pikiranku. Aku terdiam. Aku
bingung. Jika ia tidak menyukai senja lantas mengapa ia selalu mengunjungi
pantai menjelang senja??? Mungkinkah ia hanya menyukai suasana pantai disore
hari. Ah ntahlah… Aku masih enggan bersuara. Aku terus terdiam, hingga ia
melanjutkan kalimatnya.
****
Aku seorang perempuan yang mengagungkan senja. Mencintai
setiap alur merah jambunya yang merona indah menjelang malam. Bagiku senja
mengajarkan tentang arti menunggu yang sesungguhnya. Bahwa tidak akan ada hal
yang sia-sia pada setiap tunggu. Seperti ketika aku merindukan senja pada pagi
hari dan harus menunggunya datang pada sore hari menjelang malam. Seperti
ketika aku sedih berpisah dengan senja pada sore hari dan harus menunggu lagi
kedatangannya di esok hari. Dan senja memang tidak pernah ingkar. Senja pasti
datang tepat waktu kepadaku yang selalu menunggunya. Ini sebuah pelajaran
berharga yang diajarkan senja kepadaku. Dan aku meyakini arti menunggu ini pada
setiap hal yang kutunggu disepanjang hidupku. Tentang angan, cinta dan cita.
Aku yakin semua akan datang tepat waktu kepadaku yang selalu menunggu.
****
“Dia membawaku kesini saat first date. Ada kisah
yang tertinggal di pantai ini. Kala itu, setelah selesai menjepret pemandangan sekeliling
pantai. Aku dan dia beristirahat digubuk ini. Aku menyandarkan wajahku
dibahunya sambil melihat foto-foto pada kamera yang ia pegang. Sesekali ia
menjahiliku dengan candanya. Membuatku kesal lalu minta maaf sambil
memelukku erat sekali. Bahkan hangat
peluknya masih bisa kurasakan hingga kini.” Perempuan
itu melanjutkan kalimatnya, membuyarkan lamunanku tentang senja.
“Dia…???? Siapa??? Pacar kamu??”
Aku melontarkan pertanyaan beruntun padanya. Perempuan itu tersenyum lalu
meneruskan ceritanya tanpa menjawab pertanyaanku secara lengkap.
“Dia lelaki yang sangat aku kagumi. Aku mencintai
hingga detik ini dan pada detik-detik selanjutnya yang tak terdefinisi. Aku
datang kesini karena sedang menyusun kembali kenangan yang tercecer. Kenangan
tentang kami. Aku datang kesini bukan karena senja apalagi menunggu.”
“Lalu dimana pria itu saat ini…???” tanyaku
lagi, aku semakin penasaran.
“Dia pergi ke ruang yang tak bisa kurengkuh”
“Meninggal???”
“Masih hidup. Hanya saja ia memilih ruang yang bukan
aku.”
“Lalu…. Untuk apa kamu masih menyusun kembali
kenangan tentangnya??? Bukankah itu hanya buang-buang waktu, karena
kenyataannya kamu sudah tak bisa merengkuhnya???”
“Untuk menyamarkan kenyataan. Terlalu sakit jika aku
hidup dalam kenyataan yang sebenarnya. Aku tahu ini memang tak bisa diubah lagi.
Aku tak sanggup bertahan dengan keadaan yang begini adanya. Maka aku harus menyusun
kembali kenangan tentangnya. Merasakan kembali hangat tubuhnya setiap kali aku
memeluknya. Canda, tawa yang terngiang telinga. Senyum dan perhatiannya yang
terlihat jelas dalam benak. Meski sendirian, namun aku bisa merasakan kembali ada’nya
meski tiada. Itu membuatku merasa lebih baik.” Lalu perempuan itu
tersenyum menatapku. Aku hanya diam tanpa ekspresi. Aku masih berusaha mencerna
kata-katanya barusan. Aku memaksa otak dan akalku untuk bekerja cepat. Namun
sebelum aku bisa memahami dengan benar kalimatnya. Ia sudah melangkah pergi,
meninggalkanku tanpa pamit. Perempuan itu melangkah gontai kearah timur, sambil
merapikan letak syalnya.
Hening…. Hanya suara ombak yang menguasai pantai ini. Aku
masih terpaku di gubuk ini. Sambil terus memperhatikan perempuan itu yang kini
hampir tak terlihat dari pantai. Ia terus bergerak kearah timur. Sesekali ia
berhenti. Berdiri mematung memandang hamparan laut lepas.
Mungkin
disana… ada kenangan lain yang masih perlu ia kemas. Aku membatin. Lalu berdiri
meninggalkan gubuk. Aku berjalan keselatan. Menuju halte bus kota untuk kembali
ke rumah.
****
Perempuan itu memang tidak menyukai senja. Namun ia tetap
mengunjunginya, dengan alasan kenangan. Dan tanpa ia sadari senja telah mengajarkan
sesuatu yang lain kepada perempuan itu. Bahwa senja tidak selamanya membawa
kisah yang sama…
The
End